🦏 Puisi Selamat Pagi Indonesia Karya Sapardi Djoko Damono
SapardiDjoko Damono lahir pada 20 Maret 1940 di Surakarta, Jawa Tengah. Ia kerap disapa dengan singkatan namanya, yakni SDD. Namanya kondang sebagai sastrawan terkemuka angkatan 70-an. Diketahui bahwa ia banyak menghabiskan masa muda di Surakarta. Dirinya menempuh pendidikan Sekolah Dasar di Inpres Nagaraherang.
MenjengukWajah di Kolam. itu. rembulan. kali. Jangan. Baik, Tuan." #5. Hanya. Demikianlah 5 puisi cinta paling romantis menyentuh hati karya Sapardi Djoko Damono yang dipublikasikan berkas puisi, baca juga puisi patah hati sapardi djoko damono dan puisi perjuangan karya sapardi djoko damono lainnya.
Karyakaryanya hingga kini terus mewarnai dunia sastra Indonesia. Dari puisi, cerpen, terjemahan sastra, dan pemikirannya seputar sastra, kerap menjadi panutan di dunai sastra Indonesia. Produktivitas Sapardi Djoko Damono bukan hanya menulis, tapi beliau juga seorang guru, lebih tepatnya guru besar atau prosesor di bidang sastra.
Prof Dr. SAPARDI Djoko Damono (SDD) adalah Dosen Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Indonesia, dikenal. sebagai pujangga dan sastrawan rendah hati. Penyair romantis ini kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, pada 20 Maret 1940. Hari Minggu (19/07/2020), SDD tutup usia setelah beberapa saat dirawat di RS karena sakit.
Jakarta(ANTARA) - Sastrawan Sapardi Djoko Damono hari ini, 19 Juli 2020 dikabarkan telah meninggal dunia sekira pukul 09.17 WIB. Sapardi menghembuskan napas terakhir pada usianya yang ke-80 tahun di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan. Sebelumnya, Sapardi sudah dirawat di rumah sakit sejak Kamis (9/7) karena menurunnya fungsi organ
AnalisisPuisi: Puisi "Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?" karya Sapardi Djoko Damono adalah kumpulan puisi yang terdiri dari sembilan bagian yang membahas refleksi, pertanyaan, dan pemikiran yang mendalam tentang kehidupan, keterbatasan, dan persepsi tentang dunia. Puisi ini menggambarkan sebuah dialog internal dan pertanyaan yang diajukan
Penyairlegendaris Indonesia, Sapardi Djoko Damono baru saja merilis kitab puisi terbarunya. Karyanya ini dinamakannya Perihal Gendis yang dirilis saat mengisi perhelatan The Readers Fest pada 6 Oktober 2018 lalu. Perihal Gendis ditulis oleh Eyang Sapardi pada masa pemulihannya setelah sempat hampir sebulan dirawat di rumah sakit beberapa waktu lalu. Antologi puisinya kali ini berisikan 15
ApresiasiPuisi Ziarah Karya: Sapardi Djoko Damono. 6.8K. 1. kita berjingkat lewat. jalan kecil ini. dengan kaki telanjang; kita berziarah. ke kubur orang-orang yang telah melahirkan kita. Jangan sampai terjaga mereka! Kita tak membawa apa-apa.
SapardiDjoko Damono (20 Maret 1940 - 19 Juli 2020) adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka. Ia kerap dipanggil dengan singkatan namanya, SDD. Ia adalah putra pertama pasangan Sadyoko dan Saparian. Sapardi dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya
VsKN. Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono merupakan sastrawan kebanggaan Indonesia, yang dikenal dengan karya tulisannya yang sederhana, namun mengandung makna yang dalam. Orang-orang lebih mengenalnya sebagai sastrawan. Sebelum masuk perguruan tinggi, dia sempat dikenal lewat sajak yang dia buat saat berusia 17 tahun. Di masa pensiunnya, dia masih aktif menulis dan mengajar di Program Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta. Sapardi meninggal pada Minggu, 19 Juli 2020, pukul WIB di Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan. Kumpulan Puisi Sapardi Djoko Damono Ada banyak puisi karya-karya besar yang dimiliki beliau. Beberapa karya Sapardi Djoko Damono antara lain, Duka-Mu Abadi 1969, Mata Pisau 1974, Perahu Kertas 1983, Sihir Hujan 1984, Hujan Bulan Juni 1994, Arloji 1998, Ayat-ayat Api 2000, Mata Jendela 2000, dan masih banyak lagi. Tentu masih banyak lagi puisi karya Sapardi Djoko Damono yang mempunyai tempat tersendiri di hati para penggemarnya. Berikut kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono 1. Sementara Kita Saling Berbisik 1966 sementara kita saling berbisik untuk tingga lebih lama lagi pada debu, cinta yang tinggal berupa bunga kertas dan lintasan angka-angka ketika kita saling berbisik di luar semakin sengit malam hari memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa unggun api sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi 2. Hujan Bulan Juni Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu 3. Aku Ingin 1989 Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada 4. Yang Fana Adalah Waktu 1989 Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa "Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu. Kita abadi. 5. Pada Suatu Hari Nanti Pada suatu hari nanti, Jasadku tak akan ada lagi, Tapi dalam bait-bait sajak ini, Kau tak akan kurelakan sendiri. Pada suatu hari nanti, Suaraku tak terdengar lagi, Tapi di antara larik-larik sajak ini. Kau akan tetap kusiasati, Pada suatu hari nanti, Impianku pun tak dikenal lagi, Namun di sela-sela huruf sajak ini, Kau tak akan letih-letihnya kucari. 6. Menjenguk Wajah di Kolam Jangan kau ulang lagi menjenguk wajah yang merasa sia-sia, yang putih yang pasi itu. Jangan sekali- kali membayangkan Wajahmu sebagai rembulan. 7. Kenangan Ia meletakkan kenangannya dengan sangat hati-hati di laci meja dan menguncinya memasukkan anak kunci ke saku celana sebelum berangkat ke sebuah kota yang sudah sangat lama hapus dari peta yang pernah digambarnya pada suatu musim layang-layang Tak didengarnya lagi suara air mulai mendidih di laci yang rapat terkunci. Ia telah meletakkan hidupnya di antara tanda petik 8. Sajak Tafsir Kau bilang aku burung? Jangan sekali-kali berkhianat kepada sungai, ladang, dan batu Aku selembar daun terakhir yang mencoba bertahan di ranting yang membenci angin Aku tidak suka membayangkan keindahan kelebat diriku yang memimpikan tanah tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku ke dalam bahasa abu Tolong tafsirkan aku sebagai daun terakhir agar suara angin yang meninabobokan ranting itu padam Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat untuk bisa lebih lama bersamamu Tolong ciptakan makna bagiku apa saja — aku selembar daun terakhir yang ingin menyaksikanmu bahagia ketika sore tiba. 9. Kita Saksikan 1967 kita saksikan burung-burung lintas di udara kita saksikan awan-awan kecil di langit utara waktu itu cuaca pun senyap seketika sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya di antara hari buruk dan dunia maya kita pun kembali mengenalnya kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia 10. Akulah Si Telaga 1982 akulah si telaga berlayarlah di atasnya; berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya; yang menggerakkan bunga-bunga padma; sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja perahumu biar aku yang menjaganya. 11. Sementara Kita Saling Berbisik 1966 Sementara kita saling berbisik untuk lebih lama tinggal pada debu, cinta yang tinggal berupa bunga kertas dan lintasan angka-angka ketika kita saling berbisik di luar semakin sengit malam hari memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa unggun api sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi. Demikian beberapa contoh puisi Sapardi Djoko Damono yang dapat menjadi inspirasi atau sekedar untuk mengenang karya dari salah satu sastrawan terkenal Tanah Air.
Puisi Pada Suatu Pagi Karya Sapardi Djoko Damono Apakah kamu sedang mencari puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul Pada Suatu Pagi? Tepat sekali karena kali ini kami akan menyajikannya bagi kamu yang sedang mencarinya. Tapi, sebelumnya alangkah baiknya jika kita sedikit mengulas dulu siapa sih Sapardi Djoko Damono tersebut? Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono merupakan seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka, yang lahir di Surakarta, pada tanggal 20 Maret 1940. Salah satu karyanya yakni Pada Suatu Pagi. Sapardi Djoko Damono pun seringkali dipanggil dengan sebutan berdasarkan singkatan namanya, yakni SDD. SDD dikenal melalui berbagai puisinya yang berkenaan dengan hal-hal sederhana, namun tentunya penuh makna kehidupan. Sehingga, beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum seperti halnya puisi berjudul “Pada Suatu Pagi”. Adapun puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul Pada Suatu Pagi adalah berikut ini. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - PUISI PADA SUATU PAGI Karya Sapardi Djoko Damono maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa. Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi. *** - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Demikian yang bisa kami sajikan berkaitan dengan Puisi Karya Sapardi Djoko Damono - Pada Suatu Pagi. Semoga bermanfaat!!! Salam,
puisi selamat pagi indonesia karya sapardi djoko damono